Antara politik dan NU dengan nilai-nilai kepercayaan dan pemberdayaannya umat, merupakan sesuatu tarik-menarik, karena NU yang berdasarkan nafas keislaman, menghidupkan kembali pola-pola sunnah yang dilakukan oleh Rosulullah untuk membumikan nilai-nilai ajaran kepada segenap umat islam. Sedangkan politik itu sendiri merupakan pola kerja penguasa terhadap rakyatnya. Dua pola kinerja yang saling melengkapi ( internal & eksternal ) sehingga menjadi kinerja organ yang terpisah, ketika politik memainkan perluasan islam di seantera bumi islam, maka nilai-nilai keaswajaan memainkan komunitas islam yang bersifat spiritual. Hal ini tidak di sadari oleh warga Nahdiyyin, karena melalui politik hanya praktisnya saja dan imbasnya dalam konteks sejarah politik pengalaman politnya pada masa orde baru.
Politik memainkan andil yang cukup besar dalam perkembangan sebuah negara. Ini memainkan sesuatu yang menyangkut kehidupan orang banyak dalam skala universal. Sedangkan dalam tujuan antara hubungan islam dan politik pada sistem kenegaraan pada masa awal islam, mengungkapkan sejarah sekaligus yang sangat kompleks. Islam adalah sistem kepercayaan di masa agama mempunyai hubungan erat dengan politik. Politik menjadi medan pertahanan di ancaman-ancaman negara-negara adikuasa pada masa awal islam, untuk memperluas ekspansi islam. dengan demikian, dalam realitasnya komunitas islam bersifat spiritual sekaligus temporal “gereja” sekaligus “Negara”.
Pada dasarnya dalam islam tidak ada pemisahan antara agama dan politik. Pada masa awal islam setelah hijrah ke madinah, Nabi membangun satu bentuk negara kota (city state) di madinah yang bersifat ke Tuhanan. Dalam perjalanan sejarah dan bentuk negara semacam itu berkembang konsep yang disebut pemikiran politik islam. Semacam Al-mawududi sebagai negara theo-demokratik, karena ia berdasarkan pada prinsip syuro ( musyawarah ) dengan demikian pada akhir periode abbasiyah, hal-hal esensial dalam teori politik islam terbentuk dan memilih sejumlah tema umum. Allah pemegang kedaulatan (hakiniyah) mutlak dan penguasa semesta, serta pemegang otoritas dalam negara. Melalui sebuah perjanjian inilah didelegasikan kepada manusia sebagai instrumen (khalifah) Allah di muka bumi. Institusi kekhalifahan didasarkan pada wahyu Allah. Maka, kekhalifahan dianggap sebagai sistem organik religion politik yang didominasi hubungan yang sakral dan politik.
Ahlul sunnah wal jamma’ah adalah istilah yang digunakan pertama kali pada masa Abbasiyah. Pada saat itu tern tersebut di adopsi oleh sekelompok umat islam yang mengakui kekhalifahan Abbasiyah yang sekaligus menekankan kesinambungan dengan masa lalu dalam kerangka sunnah sehingga mempresentasikan posisi Jamma’ah sebagai prinsip-prinsip dasarnya. Aswaja secara konseptual (dari bagian lain yang terdiri madzab teologi asyari) tern tersebut merupakan pengejawantahan dari nilai-nilai ajaran Rosulullah yang dikembangkan oleh khalifah ke empat, berdasarkan tata perilaku Nabi (Hadits) maupun yang bersumber dari Al-Qur’an keduannya menjadi pegangan umat islam di dunia.
Walaupun dalam perkembangannya kelompok ini sangat beragam. Ada yang lebih menitik beratkan pada naqi dan ada juga yang menekankan pada aspek rasional. Walaupun demikian, perbedaan paham aswaja berupaya merangkaikan perbedaan itu dalam satu framework dengan memiliki benang merah yang kuat antara kelompok satu dengan kelompok lainnya, yaitu nilai-nilai Tasyamuh, tawazun dan tawazush. Selama satu kelompok masih menekankan nilai-nilai yang tidak mencerminkan pola-pola yang sangat ekstrem selama itu pula kelompok tersebut di anggap kelompok aswaja.
Peran seperti itulah yang di mainkan oleh NU sebagai kelompok salah satu Aswaja. Dengan nilai-nilai keislaman yang lentur, relative, universal memainkan porsi integral yaitu politik untuk mengimbangi peran negara. Peran seperti itu terkadang terimbangi bahkan terjadi pemisahan yang menganggap politik dan NU merupakan salah satu yang terdiri sendiri, atau apakah ini semacam jurus politik agar NU bersih dari idiom-idiom, politik ?
Namun jika di telisik lebih lanjut, bahwa dari kinerja NU dari berbagai arah, merupakan jurus ampuh bagi lawan politiknya. NU sebagai umat yang selalu dirumuskan dalam konteks kekinian, karenanya mustahil menghadiri dari publik politik yang menjadi arah pusat perubahan lebih mendalam untuk memainkan peran jama’ah. Dengan pemberdayaan tersebut NU menyiapkan skill man tangguh untuk berkancah di medan laga. Lagi-lagi NU menggaris bawahi, dia tidak mempunyai politik praktis.
Ini yang menandakan pola kinerja politik NU ketika keterlibatannya dalam komite Hijas, Nilal, Lala anasyumi, dan menjadi partai NU. Disitulah NU mulai menata artikulasi politiknya.
Ketika NU resmi mendeklarasikan diri sebagai organisasi (formal) ke agamaan. Saat itulah NU telah menyentuh tubuh politik yang sesungguhnya.
|| Siti Puri Handayani "Buletin El-azmi" ||
0 komentar:
Posting Komentar